Si Cepot Yang Terlupakan

            

Andai cepot hidup, pasti cepot akan jadi teman Asep yang baik . Ya, Asep namanya. Ia adalah seorang anak kelahiran suku Sunda yang sangat cerdas dan selalu patuh terhadap perintah. Asep adalah seorang piatu, ia ditinggalkan ibunya sejak terlahir ke dunia. Jadi, ia tidak pernah merasakan kasih sayang ibunya. Tetapi, ia dapat merasakan kasih sayang dan didikan yang penuh dari bapaknya yang sangat menyayanginya. Itulah yang membuat Asep menjadi seorang anak yang mandiri.
            Ia tinggal bersama bapaknya di sebuah rumah 4x5 petak di desa Ciparay, Bandung, Jawa Barat. Ia bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri Parakan Saat yang lumayan jauh dari rumahnya. Ia berangkat bersama bapaknya yang selalu setia mengantarkannya menggunakan sepeda. Butuh waktu 45 menit untuk sampai di sekolah tepat waktu.
 Bapaknya bernama Darso Wardoyo. Seorang seniman tradisional berjenggot panjang dan berkulit cokelat yang sudah lama terlupakan oleh masyarakat. Tetapi, beliau tidak pernah lelah dan putus asa untuk selalu melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang telah lahir di daerahnya. Tanah kelahirannya, Sunda. Salah satu keseniannya adalah  wayang golek. Beliau salah seorang anggota dari grup seni di Bandung yang bertugas sebagai dalang.
Asep adalah anak yang patuh. Ia selalu membantu bapaknya jika ada panggilan untuk pentas. Tetapi, akhir-akhir ini Asep selalu sedih karena lama-kelamaan peminat wayang golek berkurang. Jarang sekali ada panggilan-panggilan untuk pentas. Bapaknya mengajarkan Asep untuk selalu tegar dan sabar.
Karena jarang ada panggilan-panggilan untuk pentas, uang pendapatan Pak Darso menurun. Ia pun berniat akan membuat wayang yang akan di jualnya di pasar. Setiap malam, ia selalu membuat wayang yang terbuat dari kayu.
Dewi malam pun telah datang. Pak Darso pun bergegas untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ketika beliau sedang membuat golek , datanglah Asep.
“Bapak sedang apa malam-malam begini belum tidur?” tanya Asep bingung.
“Eh Asep, ini bapak teh lagi bikin wayang golek,”  jawab Pak Darso sambil membuat wayang.
“Oh, kenapa kok bikin wayang, Pak? Bapak bikinnya banyak lagi.”
“Ehemm, Bapak teh kan gak suka pentas lagi. Jadi, Bapak gak punya uang untuk jajan Asep,” jelas Pak Darso.
 “Oh begitu. Oh, iya Pak. Boleh nggak Asep bantu Bapak?”
“Oh, silakan saja,” ucap Pak Darso.
Mereka pun membuat wayang golek bersama.
“Pak, kalau ini teh siapa? Patung wayangnya terlihat lucu banget. Asep suka sama patung wayang ini,” jelas Asep.
Pak Darso tertawa keci,l “He..he.. Itu, itu mah Si Cepot. Kenapa kok lucu? Jelek juga,” ucap Bapaknya Asep.
“Lucu aja Pak, mata molotot, wajah merah , dan giginya gingsul lagi. Asep mah jadi pengen ketawa, Pak lihatnya juga. Oh, iya Pak. Boleh gak besok Asep bawa Si Cepot ke sekolah?” tanya Asep.
“Kenapa atuh kok dibawa ke sekolah segala?” tanya Pak Darso.
“Asep pengen liatin ke temen-temen, Pak. Biar temen-temen Asep tahu kalau ini tuh wayang golek. Kan zaman modern sekarang itu, orang-orang mulai melupakan kesenian tradisional, Pak. Jadi, Asep mau melestarikan budaya Sunda Pak,” ucap Asep yakin.
“Ya, sudah silakan saja, Sep. Syukurlah kalau kamu berniat seperti itu. bapak bangga sama kamu, tapi Asep malu tidak bawa wayang itu ke sekolah?” tanya bapaknya lagi.
“Asep tidak malu ko, Pak. Si Cepot kan lucu, pasti teman-teman Asep suka melihatnya,” jelas Asep.
Mereka pun tertawa bersama sambil segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, mereka bergegas ke kamar untuk beristirahat.
            Sang raja siang pun mulai muncul dari ufuk timur. Seperti biasa, Asep bangun pagi sekali. Ia pergi ke dapur yang berukuran kecil untuk memasak nasi dan air. Tak lupa ia membuat kopi untuk bapaknya. Setelah semua pekerjaan di rumah selesai, Asep berangkat ke sekolah menggunakan sepeda dengan membawa Si Cepot di tangannya.
Setibanya Asep di sekolah, teman-temannya melirik wayang yang dibawa oleh Asep. “Eh, Asep, kamu bawa apa tuh ?” tanya Siska murid berkacamata di kelasnya.
“Oh, ini salah satu wayang golek, namanya Cepot,” jawab Asep.
“Untuk apa kamu bawa benda seperti itu ke sini? Mau konser?” ejek Tania, murid paling judes di kelasnya. Murid – murid yang lain pun menertawakan Asep.
“Heh, asal Kalian tahu, ya! Wayang golek itu kesenian khas Jawa Barat dan kita harus melestarikannya bukan malah mengejeknya,” tegas Asep. “Melestarikan? Kampungan banget sih! Zaman sekarang itu yang kayak gitu udah ketinggalan zaman. Hanya orang-orang kampungan yang melestarikannya, betul nggak teman-teman?”  sahut Bima, murid yang keras kepala. “Betul sekali...,” ungkap teman-teman sekelas Asep.
Teman-teman di kelasnya tak berhenti untuk menertawakan dan mengejek Asep. Untungnya ada Daffa yang membela Asep. Daffa adalah teman sebangku Asep yang sangat baik. Ia murid paling pintar di kelasnya.
 “Sudah cukupp!! Kalian jangan mengejek Asep terus dong!! Memangnya salah kalau dia bawa wayang golek? Seharusnya kalian bangga dong punya teman seperti Asep. Walaupun sekarang sudah zaman modern, tapi Asep ingin melestarikan kesenian tradisional. Kita juga harus tahu kesenian-kesenian daerah kita sendiri! Bukannya malah menjelek-jelekan kesenian tradisional kita!”
Murid-murid pun terdiam. Mereka tidak berani melawan murid pintar di kelasnya itu. Tetapi, Bima masih keras kepala dan tidak mau kalah.
Tak lama kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara.
“Kepada seluruh siswa SMPN Parakaan Saat segera berkumpul di aula. Terima kasih,” terdengar suara Bu Ratna, Kepala SMP tersebut.
Seluruh murid pun pergi menuju aula.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh,” ucap Bu Ratna. Murid-murid pun menjawab salam Bu Ratna. “Selamat pagi anak-anak. Hari ini, ibu mengumpulkan kalian karena akan membahas peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Anak-anakku, tanggal 17 Agustus sebentar lagi. Oleh sebab itu, kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk salah satunya adalah hiburan. Hiburan itu perlu menampilkan sesuatu. Oleh karena itu, ibu minta saran dari kalian kira-kira apa yang akan kita tampilkan untuk hiburan nanti?” tanya Bu Ratna.
Murid-murid pun berfikir sejenak. Kemudian Vina, murid kelas 8A mengangkat tangannya. “Bu, bagaimana kalau kita panggil dancer aja, seru Bu kayaknya!” sahut Vina. “Sepertinya ibu kurang setuju karena hari kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan modern danceModern dance itu bukan berasal dari Indonesia Nak. Jadi, kita harus melestarikan segala sesuatu yang berasal dari negara kita,” jawab Bu Ratna.
“Oh, begitu ya, Bu,” kata Vina. “Iya. Yang lain ada usul lagi ?” tanya Bu Ratna. Asep memberanikan diri untuk mengangkat tangannya dengan ragu-ragu.
“Bu, bagaimana kalau wayang golek saja? Wayang golek kan asli dari Indonesia dan lebih bagusnya lagi wayang golek itu berasal dari Jawa Barat, Provinsi kita ini,” jelas Asep.
Murid-murid malah menertawakan Asep dengan terbahak-bahak.
“Dasar kampungan! Kalau wayang golek ditampilkan, mana ada yang mau menonton. Hanya kakek dan nenek kita saja yang menontonnya,” celetuk Gio, teman Bima, teman sekelas Asep. “Sudah, jangan ribut. Kalian diam! Ibu setuju dengan pendapat Asep. Pada hari kemerdekaan nanti, kita akan mengundang grup wayang golek,” tegas Bu Ratna.
Murid murid terlihat tidak setuju.
“Ah, Ibu.Masa sih wayang golek? Wayang golek itu sudah ketinggalan zaman, Bu. Sekarang itu zaman modern dan sudah banyak kesenian yang lebih seru dan gaul,” sahut Bima mengelak. “Iya, Bu betul kata Bima. Saya tidak setuju. Dari pada wayang golek lebih baik mengundang boys band atau girls band saja yang sedang populer saat ini. Lebih modern dan tidak kampungan, Bu,” ucap Tania
            “Nah, justru itu, karena wayang golek sudah ketinggalan zaman. Jadi, kita harus melestarikannya dari pada mengundang boys band dan girls band. Semuanya sepakat, ya. Tidak boleh ada yang mengelak lagi. Pertemuan kita cukup sampai di sini. Terima kasih semuanya. Silakan kembali ke kelasnya masing-masing, kecuali Asep. Asep tunggu di sini karena ibu mau bicara. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” jelas Bu Ratna.
Murid-murid pun segera masuk ke kelasnya masing-masing walaupun ada yang masih tidak setuju dengan keputusan Bu Ratna.
“Asep, idemu bagus sekali untuk memanggil wayang golek. Tetapi, ibu bingung di mana harus memanggil grup wayang goleknya ya? Apakah Asep tahu?” tanya Bu Ratna. “Bagaimana kalau memanggil grup wayang golek bapak saya saja Bu?” usul Asep. “Usul bagus juga, Sep. Ya, sudah. Kalau begitu, kamu kasih tahu bapakmu saja untuk persiapan pentas nanti,” ucap Bu Ratna. “Iya, siap Bu,” jawab Asep.
Setelah bubar pelajaran terakhir, Asep bergegas pulang dan tak sabar untuk segera bertemu bapaknya.
“Pak, Asep punya kabar gembira. Nanti, untuk peringatan HUT RI, sekolah Asep mau mementaskan wayang golek,” jelas Asep. “Oh, syukurlah kalo begitu, Sep,” ucap bapaknya. “Nah, Bapak dipanggil pentas untuk menjadi dalangnya,” jelas Asep. “Bapak siap ko, Sep,” ujar Pak Darso.
Pak Darso sangat senang karena dapat kembali pentas. Setiap hari, ia berlatih untuk menampilkan pentas yang memuaskan. Hari kemerdekaan pun tiba. Suasananya sangat meriah. Di setiap sudut jalan terdapat bendera-bendera RI dan hiasan-hiasan yang menarik. Begitu pun suasana di sekolah Asep. Panggung besar sudah siap, para penonton mulai memasuki lapangan sekolah Asep, dan semua murid menyambut suka cita. Setelah upacara, pentas seni pun dimulai. Grup Pak Darso mulai memasuki panggung.
“Ini dia yang kita tunggu-tunggu, pentas wayang golek,” suara pemandu acara mulai terdengar. Asep dan Daffa sudah siap melihat pentas wayang golek Pak Darso di barisan paling depan. Teman–temannya lebih memilih berdiam di kelas dari pada menonton pementasan wayang golek.
            Tak disangka, acara berlangsung sangat meriah. Semua orang tertawa terbahak-bahak menyaksikan aksi Si Cepot yang kocak. Hal tersebut membuat Tania, Bima, dan Gio menjadi penasaran.
“ Wayang goleknya kayak gimana sih? Kok kedengaran seru banget,” heran Bima. “Iya, benar. Ada apa ya?” sambung Tania.
Karena diliputi rasa penasaran, Gio pun melirik lewat kaca jendela. Dia melihat wayang yang pernah dibawa Asep ke sekolah waktu itu. Gio tertawa melihatnya dan merasa tertarik untuk melihat lebih dekat.

“Wah, ternyata di luar seru banget tuh. Kita keluar, yuk!” ajak Gio.
“Jangan! Apa kata Asep nanti kalau kita menontonnya? Malu ah,” sahut Tania.
“Kalau begini caranya, kita harus minta maaf kepada Asep. Kemudian kita nonton bareng deh,” saran Bima.  “Aku setuju,” ucap Gio. “Ya, sudahlah kalau begitu,” Tania menimpali.
Mereka pun beranjak keluar dan mendekati Asep. “Asep, maafkan kami ya atas kejadian waktu itu di kelas!” ucap Tania. “Oh, iya. Gak apa-apa kok,” jawab Asep. “Kami benar-benar menyesal karena telah mengejek kamu, Sep,” ujar Bima. “Saya sudah memaafkan kalian kok. Kalau begitu, ayo kita nonton bareng wayang goleknya,” ajak Asep.
Asep dan teman-temannya berada di barisan depan. Mereka sangat serius menyimak cerita wayang golek yang dibawakan Pak Darso. Tak henti-hentinya mereka tertawa ketika ada hal lucu dalam pementasan  wayang golek itu.

Setelah pementasan wayang golek berakhir, semua anak merasa kecewa karena masih tertarik dengan cerita wayangnya. Dalam hati, Asep merasa bangga karena berkat idenya untuk memanggil wayang golek maka murid-murid di SMPN Parakan Saat menjadi tahu kesenian tradisional wayang golek. Asep juga berharap semoga teman-teman di sekolahnya dapat melestarikan kebudayaan nasional Indonesia. Selain itu, agar semua orang tahu bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budayanya.      

Cepot si muka merah yang lucu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNIDA Gontor (The Fountain of Wisdom)

Masih Disini