Contoh Makalah

KESETARAAN GENDER

PENDAHULUAN

            Dalam dua dekade ini, feminism mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi Indonesia, baik dalam tinjauan yang bersifat umum terutama menyangkut hak-hak dan pemberdayaan perempuan—maupun yang dikaitkan dengan pemikiran islam—terutama tentang penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan.
            Banyak nya pembicaraan tentang feminism ini didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, apalagi politik dibandingkan dengan peran laki-laki. Peran-peran publik didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan lebih banyak memainkan peran domestik, baik sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.
            Dominasi laki-laki dalam peran public dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat islam. Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat alami atau kodrati. Anggapan umum seperti itu ditolak oleh feminism. Dalam feminism, konsep seks dibedakan dengan gender. Perbedaan-perbedaan biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah konsep gender. Feminisme mengkaji secara kritis berbagai macam konstruksi gender yang ada dan berkembang dimasyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
            Bagaimana masalah kesetaraan gender ini dalam islam? Pada pembahasan kali ini, akan dibahas tentang masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam islam.

PEMBAHASAN

A. Definisi
Harus diakui, gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran dan respons yan tidak proporsional tentang gender. Salah satu faktor yang mempengaruhi adanya kesenjangan gender adalah bermacam-macam nya tafsiran tentang pengertian gender.
Dari kondisi yang ada saat ini, diamati bahwa masih terjadi ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang pengertian gender dalam kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa penyebab terjadinya ketidakjelasan dan kesalahpahaman tersebut. Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘gender’. Jika dilihat dalam kamus bahasa ingris, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara sex dan gender. Seringkali gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan).[1]
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita feminim atau maskulin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpertasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminim atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita sebagai bayi mungil hinga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya topeng dan kostum di teater, menyampaikan kepada oran lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini-yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja didalam dan diluar rumah tangga, seksualitas, tangung jawab keluarga dan sebagainya—secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.

B. Kesetaraan Gender
      Kesetaraan gender adalah seperti sebuah frasa (istilah) ‘suci’ yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh para perempuan. Maka istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, seperti subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya.[2]
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian adapula yang mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga masih belum jelas artinya.Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yan sama dalam melakukan aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing.
Secara umum para feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara laki-laki dan perempuan dari segala aspek kehidupan, baik di lingkungan keluara, maupun masyarakat. Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme merupakan gerakan pemberontakkan terhadap kaum laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakkan perempuan untuk mengingkari kodratnya. Dengan kesalahpahaman seperti ini, maka feminisme tidak saja kurang mendapat tempat di kalangan kaum perempuan sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.
Feminisme sebenarnya berasal dari kata latin feminayang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki dimasyarakat. Lalu bagaimanakah gerakan ini menurut islam? Dalam beberapa ayat Al-Qur’an masalah kesetaraan antara laki-lakidan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum dinyatakan oleh Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat givenlainnya, mempunyai status yang sama disisi Allah. Mulia dan tidak mulianya mereka di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki dan perempuan itu ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan ynag sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”[3]
Namun demikian, dalam beberapa ayat yang lain, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tersebut. Misalnya problem kesetaraan muncul mulai dari tidak adanya perempuan jadi Nabi dan tidak bolehnya perempuan mengimami jamaah laki-laki dalam shalat, atau jadi khatib shalat jum’at dan ‘Idain, bahkan kaum perempuan tidak dibolehkan shalat selagi mereka haidh. Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam masalah perwalian (laki-laki boleh menikah tanpa wali, sedangkan perempuan harus pakai wali), perceraian (mengapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki), poligami (laki-laki boleh poligami sedangkan perempuan tidak boleh poliandri), nikah beda agama ( mengapa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlu kitab, sementara perempuan muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non-muslim mana pun, termasuk dengan ahlu kitab). Dalam bidang lain muncul problem kesetaraan dalam masalah pembagian warisan (anak laki-laki dapat dua baian anak perempuan), kesaksian dalam transaksi kredit (formula dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dua perempuan). Dan juga problem kesetaraan muncul dalam masalah pembagian tugas publik dan domestik antara laki-laki dan perempuan.[4]
      Meskipun demikian, Al- Qur’an memang berbicara tentang laki-laki yang mempunyai kelebihan dan keunggulan social atas perempuan. Ini, sebagaimana ditunjukkan diatas, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur social pada zaman nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio- teologis. Bahkan Al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali.

KESIMPULAN

            Dalam perspektif peneliti, intisari rasionalitas semua doktrin Al-Qur’an tentang kesetaraan gender terletak pada pengertian tentang kesetaraan. Apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama, maka tentu saja dalam beberapa ayat yang di tafsirkan terlihat sikap diskriminatif terhadap perempuan. Tetapi apabila kesetaraan diartikan secara proporsional, maka perbedaan status, hukum, hak, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dinilai sebagai diskriminatif terhadap perempuan, karena perbedaan-perbedaan itu sebagian disebabkan oleh fitrah masing-masing dan yang lain bersifat teknis fungsional. Dengan pemahaman tentang kesetaraan yang proporsional itulah, penafsiran yang jernih dapat dilakukan, yaitu penafsiran yang tidak diskriminatif, tidak apologis, tidak bias—baik bias lai-laki dan partiarkhis maupun bias perempuan dan martiarkhis, dan tidak pula misoginis terhadap perempuan. Di samping jernih, diperlukan juga penafsiran yang seimbang antara teks dan konteks, baik konteks saat ayat-ayat tersebut diturunkan maupun konteks ayat-ayat itu ditafsirkan.




DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Riant, Gender dan Administrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008.
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentan Relasi Gender, Surabaya: Penerbit Mizan, 1999.
Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an,Yogyakarta: IQTHAN Publishing, 2015.



                [1]Dr. Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm.17.
                [2]Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentan Relasi Gender, Penerbit Mizan, 1999, hlm.19.
                [3]Q.S Al-Ahzab 33:35
                [4]Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an, IQTHAN Publishing, Yogyakarta, 2015, hlm.4.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNIDA Gontor (The Fountain of Wisdom)

Masih Disini

Si Cepot Yang Terlupakan